Wayang Wong Tejakula di Tengah Ruang Modern
SEBAGAI
seni pertunjukkan yang telanjur dianggap klasik, tradisional, magis dan sakral,
wayang wong seakan-akan tak bisa dimodifikasi menjadi seni modern yang lebih
cair dan menghibur. Padahal, dalam sejarah perkembangan seni pertunjukan di
Bali, banyak seni tradisi yang hampir-hampir mati bisa bangkit kembali ketika
dikonsep dengan menggunakan pola pikir lebih sekuler dan menggunakan peralatan
modern. Salah satu contoh bisa disebut wayang kulit Cenk Blonk yang menggunakan
alat pencahayaan modern dan pola pembabakan cerita yang lebih dinamis.
Kelompok wayang wong dari Desa
Tejakula yang memainkan cerita "Kumbakarna Karebut" dalam ajang
Festival Topeng Internasional di panggung terbuka Pelabuhan Buleleng, Kamis
(1/12) malam, sesungguhnya berada di tengah suasana modern. Tata panggung, tata
pencahayaan dan tata suara yang meskipun diatur dengan agak amburadul namun
sudah cukup memberi kesan bahwa pertunjukkan itu berada di ruang modern, bukan
ruang magis apalagi sakral. Event festival yang digelar International Mask Art
and Culture Organization (IMACO) adalah event modern yang dirancang orang-orang
berpikiran modern. Penonton yang berjubel di areal Pelabuhan Buleleng itu pun
sepertinya mempersiapkan diri untuk menonton sebuah seni pertunjukan yang
setidaknya bisa membuat hati mereka terhibur. Namun yang mereka dapatkan di
atas panggung sepertinya sebuah tontonan yang canggung dan kikuk.
Sebagai seni klasik, para pemain wayang wong dari seniman-seniman alam di
Tejakula itu sudah menunjukkan permainan yang bisa disebut sempurna. Terutama
pemain yang memerankan tokoh-tokoh dari pasukan kera. Gerak yang mereka
tampilkan adalah gerakan khas wayang wong yang tercipta dari konsep-konsep
seniman alam masa lalu. Karakter-karakter penokohannya juga termasuk kuat
justru karena pemainnya tidak mencoba untuk menonjolkan gerak tari yang
berlebihan.
Namun seluruh
rangkaian pertunjukan sepertinya terpaku dalam ruang masa lalu, terkesan statis
dan berat. Tanpa ada upaya untuk menarik sedikit atau beberapa bagian saja ke
ruang yang lebih kontekstual. Punakawan semacam Delem, Sangut, Tualen dan
Merdah, meski tetap harus mempertahankan karakter kepunakawanannya, namun
sesungguhnya bisa dimainkan secara lebih terbuka bahkan bisa saja sesekali
terlepas dari alur cerita. Tokoh lain, seperti Anoman dan sejumlah raksasa anak
buah Rahwana juga bisa diberi peran lebih bebas untuk mengangkat nuansa
pertunjukan ke wilayah yang lebih akrab dengan penonton.
Upaya itu memang
tidak mudah di tengah masalah klasik sulitnya menumbuhkan tunas generasi
seniman wayang wong di Tejakula. Tokoh punakawan semacam Merdah yang sudah
saatnya dimainkan oleh penari muda yang energik dan penuh daya improvisasi,
kini justru masih dimainkan seniman sepuh yang usianya di atas 60 tahun.
Sehingga Merdah tak bisa lagi mengeluarkan suara melengking dengan celetukan
yang menggigit.
Sesepuh wayang
wong Tejakula Ketut Mulia, mengakui betapa sulitnya mendapatkan generasi baru
untuk meneruskan sekaligus menghidupkan seni klasik tersebut di Tejakula.
Generasi seakan takut untuk belajar menari wayang wong. Mereka mungkin bisa
dengan mudah belajar menari, namun tak mudah untuk belajar sastra dan bahasa
Kawi. Pasalnya, dialog dalam wayang wong Tejakula semuanya disuarakan secara
langsung oleh pemainnya tanpa menggunakan dalang. Dalang hanya bernyanyi saat
mengantar cerita di bagian awal atau sesekali mengeluarkan sesendon di tengah
cerita. Artinya, dengan begitu, setidaknya setiap pemain wayang wong menguasai
ilmu mendalang. Dan, itulah yang membuat wayang wong menjadi seni pertunjukan
yang agung, komplit, dan lengkap, apalagi bisa dimainkan dengan sempurna.
Tapi, tanpa
regenerasi, keagungan wayang wong tentu saja tak bisa dipertahankan. Cara
mempertahankan adalah membuat generasi tertarik untuk main wayang wong. Untuk
membuat generasi tertarik tentu wayang wong lebih bisa dicairkan agar bisa
masuk ke dunia generasi muda yang berada pada wilayah modern. Sastra adalah
satu kekuatan dalam wayang wong, juga sebagian besar seni klasik lain. Tapi,
jika generasi sulit belajar sastra, maka sastra bisa saja diturunkan kadarnya
dalam pengadegan tokoh-tokoh tertentu. Sastra tak harus dilapalkan dalam Bahasa
Kawi tapi bisa dicairkan ke dalam bahasa percakapan sehari-hari. Percayalah,
bahasa yang biasa-biasa saja jika bahasa itu diberi rasa dan nyawa, bahasa
biasa itu juga bisa memancarkan sihir pada penonton. Bukankah pada awalnya
Bahasa Kawi juga bahasa biasa?
Jika wayang wong
ditampilkan lebih cair dan lebih sekuler, tentu saja ia masih bisa dianggap
wayang wong. Soal apakah ia masih bisa dianggap sebagai seni klasik dan sakral,
itu bisa dipertanyakan kemudian. Di Tejakula, warga pendukung wayang wong
sebenarnya sejak dulu sudah punya upaya sadar dalam membedakan ruang sakral dan
bukan sakral. Ini dibuktikan dengan dibuatkannya topeng duplikat dari wayang
wong yang disungsung di pura desa. Topeng wayang duplikat inilah yang dimainkan
di ruang-ruang yang lebih sukuler. Bahkan dalam pementasan di tempat-tempat
tertentu, kelompok ini biasa memotong sejumlah adegan dan mengurangi jumlah
pemain karena masalah waktu. Artinya, sejak awal sudah diciptakan ruang untuk bermain
dan ruang untuk khusyuk. Maka, dalam ruang bermainlah segala imajinasi, kreasi,
improvisasi, bila perlu revolusi, bisa dimainkan.
Senin, 04
Desember 2011 | BP
Tidak ada komentar:
Posting Komentar