Senin, 29 April 2013

Gong Kebyar Desa Tejakula

Keberadaan Gamelan Gong Kebyar Desa Tejakula
            Keberadaan gamelan gong kebyar di Tejakula, merupakan salah satu asset dari perkembangan gong kebyar yang tersebar luas di Bali. Salah satu bentuk medium seni tabuh, gong kebyar di Tejakula juga di manfaatkan selain sebagai sarana kebutuhan estetis secara musical, juga sebagai sarana lainnya seperti untuk pengiring upacara atau ritual, sarana sosial, dan sarana ekonomi. dari fungsi yang ada sekaligus dimaknai sebagai medium estetis yang bernilai ritual, sosial, dan ekonomi.
            Sejarah singkat keberadaan gamelan gong kebyar di Tejakula: menurut penuturan gamelan gong kebyar di desa Tejakula pada mulanya warga dadia pinatih desa Tejakula memiliki seperangkat barungan gamelan gong kebyar gaya Bali utara. Seperangkat gamelan tersebut, dipinjamkan kepada desa Tejakula. Pada saat itu kebetulan pemimpin desa atau bapak kepala desanya dari warga pinatih yaitu Bapak I Ketut Arta. Sebelum bapak I Ketut Arta memimpin desa Tejakula, desa tersebut pernah juga dipimpin oleh warga pinatih.
            Perkembangan kesenian di desa Tejakula pada saat itu sangat maju khususnya kesenian Kebyar seperti ada beberapa tarian diantaranya tari Truna Jaya, Margapati, Panji semirang, Tenun, Wiranata, Oleg Tamulilingan, Cendrawasih, dan tari Kupu-kupu. Adapun mengenai tabuh-tabuhan seperti : Hujan Mas, Bande Sura Kekebyaran, dan tabuh galang kangin kekebyaran. Kesemuanya jenis kesenian tersebut dapat disajikan atau diiringi oleh barungan gamelan gong kebyar milik warga penatih yang dipinjamkan bapak kepala desa Tejakula.

Sabtu, 27 April 2013

Penjor

Penjor

Dalam ajaran agama Hindu simbul dikenal dengan kata "niasa" yaitu sebagai pengganti dari yang sebenarnya. Bukan hanya keagamaan saja yang menggunakan simbul, aspek kenegaraan dan berbangsapun memakai simbul. Dari bentuk atau jenis simbul yang berbeda namun pada hakekatnya mempunyai makna dan fungsi yang sama. Dimana makna tersebut menyangkut dengan isi alam (makrokosmos) dan isi permohonan manusia terhadap Ida Sanghyang Widi Wasa atau Tuhan Yang Esa adalah untuk mencapai keseimbangan dari segala aspek kehidupan seperti pada konsep Tri Hita Karana. Masyarakat atau umat Hindu di Bali sudah tidak asing lagi dengan "Penjor". Pada umumnya di Bali mengenal dua jenis Penjor yaitu "Penjor Sakral" dan "Pepenjoran atau Penjor Hiasan", yang merupakan bagian dari upacara keagamaan dalam upacara Galungan ataupun upacara piodalan pada setiap pura di Bali. Sedangkan Pepenjoran atau Penjor Hiasan umumnya hanya dipergunakan pada saat adanya lomba desa, pesta seni dan lain sebagainya. Pepenjoran atau Penjor Hiasan tidak berisi sanggah penjor dan tidak ada pala bungkah atau pala gantung, porosan, serta lain sebagainya. Sedangkan Penjor Sakral dipergunakan pada waktu Hari Raya Galungan yang berisi sanggah penjor, adanya pala bungkah dan pala gantung, sampiyan, lamak, jajan dan lain sebagainya.
Menurut I.B. Putu Sudarsana, pengertian Penjor berasal dari kata "Penjor", yang diartikan sebagai "Pengajum" atau "Pengastawa", yang kemudian kehilangan huruf sengau "ny", dan akhirnya berubah menjadi kata benda, yakni kata "Penyor" yang lama kelamaan pelafalannya menjadi "Penjor" dan mengandung maksud serta pengertian "Sebagai Sarana Untuk Melaksanakan Pengastawa". Pada umumnya umat Hindu di Bali saat merayakan Hari Raya Galungan membuat penjor. Penjor Galungan yang ditancapkan pada "Hari Selasa Anggara wara" (wuku Dungulan), yang dikenal sebagai hari "Penampahan Galungan" yang bermakna tegaknya dharma. Penjor dipasang dan ditancapkan pada lebuh di depan rumah sebelah kanan pintu masuk pekarangan. Bilamana rumah menghadap ke utara maka penjor harus ditancapkan di sebelah timur dari pintu masuk pekarangan. Sanggah dan lengkungan ujung penjor menghadap ke tengah jalan. Bahan penjor adalah sebatang bambu yang ujungnya melengkung sekitar 10 meter, dan dihiasi dengan janur atau daun enau yang muda serta dedaunan lainnya (plawa). Perlengkapan penjor adalah pala bungkah (jenis umbi-umbian seperti ketela rambat), pala gantung (misalnya kelapa, mentimun, pisang, nanas dll), pala wija (seperti jagung, padi dll), jajan, serta "Sanggah Ardha Candra" yang lengkap dengan sesajennya. Pada bagian ujung penjor digantungkan sampiyan penjor lengkap dengan porosan dan bunga. Sanggah Penjor Galungan mempergunakan Sanggah Ardha Candra yang terbuat dari bambu, dengan bentuk dasar persegi empat dengan atap yang melengkung setengah lingkaran sehingga bentuknya menyerupai bulan sabit.

Jumat, 26 April 2013

Taksu Bali


Taksu di Bali sangata erat dengan kebudayaan Bali. Kegiatan seni bagi masyarakat Hindu Bali merupakan suatu refleksi kehidupan dalam upaya mengungkapkan esensi suatu karya yang mengandung kualitas keindahan, rasa bhakti yang berpedoman kepada nilai-nilai budaya tradisi. Kegiatan seni terwujud dalam bentuk tarian, arsitektur tradisional, patung atau artifak, sastra, lukisan, dan sebagainya. Sedangkan makna dari kegiatan seni adalah sebagai wujud persembahan (Yadnya) kepada Sang Hyang Widhi Wasa dalam wujud karya seni.
Masyarakat Bali (Hindu) mengenal adanya suatu pedoman mengenai pencapaian kualitas untuk menghasilkan suatu karya bermutu, disebut taksu. Taksu sebagai landasan pencapaian kualitas seni lebih mudah dilihat, dirasakan dan dijelaskan melalui bentuk tarian, karena perwujudannya tampak secara visual. Berdasarkan hasil survey, taksu ternyata ada pada setiap bidang kegiatan.
Berdasarkan keterangan diatas, maka fokus penelitian ini untuk mengungkapkan pencapaian kualitas taksu pada bidang arsitektur rumah tradisional Bali, yaitu griya sebagai studi kasus. Penelitian tesis ini mempergunakan metoda penelitian kualitatif, tujuannya untuk memperoleh pandangan secara holistik dari mereka yang diteliti. Penelitian meliputi komposisi rumpun bangunan, pekarangan, natah (halaman), dan karakteristik penghuni.
Temuan-temuan yang diperoleh, taksu pada dasarnya merupakan landasan berpikir dalam upaya mengungkapkan nilai-nilai dan makna keindahan yang tertinggi. Berdasarkan keterangan di atas ditemukan tiga unsur penting yang saling mempengaruhi untuk tercapainya pemahaman nilai-nilai taksu, yaitu : undagi (arsitek), griya (karya), dan masyarakat umum (penghuni griya). Undagi dengan karyanya bila mendapatkan suatu pengakuan, penghargaan dari masyarakat dikatakan sebagai undagi metaksu dan griya metaksu. Metaksu adalah hasil apresiasi masyarakat sebagai penikmat karya, karena secara kreatif seniman tersebut telah mampu menghasilkan dan menyampaikan suatu karya yang memenuhi nilai-nilai yang hendak dikomunikasikan, berupa pesan-pesan estetik.
 

Ngiring Lestariang Budaya Druwene Melarapan Antuk Taksu